Tanjung Redeb, Derap News.com-
Seorang guru di SMAN 2 Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), berinisial JM diduga melakukan diskriminasi terhadap muridnya di tengah kegiatan belajar. Hal tersebut dilakukan guru dengan mengeluarkan seorang siswa kelas 10 yang berinisial AN dan tidak bisa mengikuti jam pelajaran dari guru tersebut.
Parahnya seorang siswa tersebut dikeluarkan dari kelas hanya karena pakai kaus kaki warna coklat.Murid itu pun meminta maaf dan berusaha menjelaskan kepada guru terkait kesalahannya. Namun guru tetap memarahinya, seraya mengusir siswa untuk keluar dari kelas untuk tidak bisa mengikuti jam pelajarannya yakni, biologi. Akhirnya sudah dua Minggu siswa tersebut tidak ikut mata pelajaran biologi.
Menurut salah seorang tokoh pendidik Kabupaten Berau yang tidak ingin namanya dipublis mengatakan, tindakan seorang guru yang terlalu keras dalam mengajar dapat memberikan dampak negatif pada siswa, seperti membuat mereka merasa takut, tidak nyaman, dan enggan belajar. Hal ini juga dapat menghambat perkembangan potensi siswa dan menciptakan lingkungan belajar yang tidak kondusif.
“Siswa mungkin merasa takut untuk bertanya atau berpartisipasi dalam kelas karena takut salah dan dimarahi. Siswa bisa kehilangan minat belajar karena merasa tertekan dan tidak nyaman di kelas,” ujarnya
Dikatakannya, larangan diskriminasi guru terhadap siswa ini temuat dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menerangkan bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan siswa.
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban, salah satunya, untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
“Selain itu, ketentuan Pasal 20 huruf c UU 14/2005 menegaskan bahwa guru berkewajiban untuk bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran,” ungkapnya
Ia menyebut, Dalam Pasal 1 angka 1 UU 35/2014, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Karena masih berusia 17 tahun masih dikategorikan sebagai anak yang hak-haknya dilindungi oleh UU 23/2002 dan perubahannya.
Adapun hak anak sebagaimana diatur Pasal 4 UU 23/2002 adalah hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Pasal 76A huruf a UU 35/2014 melarang setiap orang memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya”
“Selain itu, khusus untuk pelanggaran terhadap Pasal 76A UU 35/2014, pelakunya diancam dengan pidana sesuai Pasal 77 UU 35/2014, yaitu dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta,” sebutnya
Senada dengan itu orang tua siswa Hasan menuturkan, meskipun bersikap keras dalam beberapa situasi mungkin diperlukan untuk menegakkan disiplin, guru juga perlu bersikap bijaksana dan fleksibel. Kunci keberhasilan seorang guru adalah mampu menemukan keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan, sehingga bisa menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif bagi semua siswa.
Agar anak didik tidak trauma akibat diskriminasi guru tehadap siswa yang mengakibatkan bisa saja teman-temannya dengan perilaku ini bisa berupa kekerasan fisik, verbal, atau sosial, dan bertujuan untuk menyakiti, mengintimidasi, atau merendahkan korban.
“Anak saya jadi mengalami trauma, hal tersebut sebagai kerugian moril sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 76A UU 35/2014. Olehnya saya berharap kepada Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur untuk menindak tegas guru yang arogan tersebut, karena kalau tidak ada tindakan kami akan mengadukan hal ini ke Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA,” Ungkapnya